Selasa, 20 Desember 2011

AWAL CERITA SEX COMEDIAN PERTAMA KALI MASUK DI INDONESIA

Booming film sex komedi sebenarnya bukan yang pertama di Indonesia. Tercatat pada pertengahan era 70an, kita mengenal film ‘Inem Pelayan Seksi’ garapan sutradara Nya Abbas. Film ini cukup berhasil, bahkan dibuat dalam tiga sekuel. Film ini tak seperti film-film seks komedi di massa kini. Film ini tampil elegan bercerita soal realitas kehidupan sehari-hari dua kelas berbeda (kelas atas dan kelas bawah), tanpa harus mengumbar seks secara vulgar.
Selanjutnya kita mengenal film-film Warkop DKI, yang selalu menampilkan cewek-cewek sexy hampir dalam setiap judulnya. Begitu juga duet Kadir-Doyok, di masa 80an akhir – 90an awal. Pada masa itu tampilan sexy, sekedar menjadi penghias dalam cerita-cerita komedi. Walau tak spesifik menjadikan sex sebagai objek dalam keseluruhan film komedi, sentilan canda dengan nuansa sex terkadang juga muncul dalam berbagai film tadi. “Tujuan awalnya buat lucu-lucuan. Bumbunya bisa apa saja, termasuk sex” jelas Elida, salah seorang pemerhati film di Jogjakarta.
Masuk di masa 90-an film Indonesia sempat mengalami kelesuan. Ketika itu, tercatat sedikit sekali produksi film dari tahun-ke tahun. Film yang banyak beredar lagi-lagi hanya film-film yang bernuansa sex. Bioskop-bioskop pun dihiasi oleh poster-poster film syur dengan judul menggoda, seperti ‘Ranjang Pengantin’, ‘Cewek Metropolitan’, ‘Gairah Malam’, dll. Film model inilah yang menjadi trend di masa itu, sampai konsumen pun pada akhirnya mulai jenuh dan meninggalkan film Indonesia. Inilah masa yang boleh dikata sebagai masa tersuram dalam catatan sejarah perfilman Indonesia.
Pada tahun 1999 sampai sekarang, disebut sebagai masa kebangkitan film Indonesia. Pada masa kebangkitan inilah muncul genre film seks komedi di Indonesia. Geliat film seks komedi ditandai dengan meledaknya film ‘Quicky Express’ di pasaran. Budaya latah lagi-lagi diterapkan dalam dunia perfilman, lalu berbagai film dengan judul genit menghiasi ruang display film di bioskop-bioskop sekitar kita. Judul-judul seperti ‘XL’ (Xtra Large),’DO’ (Drop Out), ‘kawin kontrak’, ‘ML’ (Mau Lagi), ‘Basah’ dan masih banyak lagi, menjadi tak asing bagi kita. Semuanya dengan genre seks komedi, seakan mengajak tertawa sambil ngangkang. Silih berganti layaknya anak kecil produser-produser berlomba mencapai kue-keuntungan, dengan memproduksi berbagai judul film seks komedi. Bahkan tak jarang juga beberapa judul film gagal, hanya bertahan beberapa hari di bioskop-bioskop besar.
Sebagian dari masyarakat menganggap film sex komedi ini berbahaya, karena bisa merusak moral bangsa. Elemen-elemen masyarakat banyak menyampaikan protes terhadap film dengan genre ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI), menunjukan sikap tegasnya terhadap film ‘Mau Lagi’ yang dinilai terlalu menonjolkan unsur seks (mendorong pada perilaku free-sex) di dalamnya.
Dahsyatnya, senada dengan judul tulisan ini “Makin Dilarang, Makin Merangsang”, semakin banyak dikecam produser-produser malah makin berlomba memproduksi film Sex Komedi. Sex Education, bagi para produser sudah cukup menjadi alasan untuk terus memproduksi film seks komedi. “Hallah, itu cuman akal-akalan produser film aja” ujar Elida, yang aktivitas kesehariannya di habiskan di KINOKI (badan usaha yang juga memiliki perhatian lebih pada dunia perfilman). Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa film itu jelas di tonton masyarakat, maka penilaiannya akan sangat subjektif di masing-masing individu.
Menyoal Sensor
Ada banyak alasan yang mengemuka dalam kontroversi film seks komedi. Ada yang berlandaskan pada soal-soal moral, seperti MUI dll. Ada pula yang menilainya dari sudut pandang seni-ideal. Bagi mereka dalam kategori ini, film tidak semata-mata sebagai alat jual, lebih dari itu mereka menganggap film sebagai produk seni. Dalam pandangan mereka masih banyak yang bisa ditonjolkan dalam sebuah film, dibanding soal-soal seperti sepele seperti seks. Walau ada pula para pelaku industri film yang menganggap seni sebagai ruang tanpa batas, dimana ruang kebebasan berekspresi bisa dibuka seluas-luasnya.
Lembaga Sensor Film pun diminta lebih selektif dalam menentukan tayangan yang pantas bagi masyarakat. Sejak kebangkitan perfilman Indonesia pada tahun 2000an, kerja-kerja Lembaga Sensor memang banyak dipertanyakan. Bagi mereka yang berdalih film-film bernuansa seks merusak moral, lembaga ini dianggap kurang selektif. Dilain sisi ada pula yang menilai bahwa badan sensor telah mematikan sebuah kebebasan dalam berekspresi. Terlepas dari semuanya badan sensor film telah menahan penonton nakal, yang ingin sekedar ber’ereksi’.
Edi Cahyono, sutradara film asal Jogjakarta mengatakan “Eksekusi itu ada di film maker. Misalnya aku sebagai film maker, penting gak bagiku untuk menyorot auratnya atau membuat adegan vulgar ? Sementara adegan tersebut tidak berpengaruh bagi cerita film itu sendiri”. Edi, yang beberapa film pendeknya sukses mendapatkan award baik di dalam maupun luar negri ini menekankan, semuanya itu kembali pada para pekerja dibalik layar. Menurut dia proses sensor, seharusnya sudah dimulai dari film maker itu sendiri.
“Kalo aku gak bakal ngelakuin itu. Karena aku besar dalam budaya timur, khususnya budaya jawa”. Demikian jelas Edi, yang film pendeknya (Bedjo Ven Derlak) masuk dalam Akira Kurosawa Best 40 short film di Jepang. Akan tetapi Edi juga menegaskan bahwa tidak ada hak lembaga sensor untuk memangkas kreativitas seseorang atau ngomongin moral seseorang. Bisa dikatakan lembaga sensor di Indonesia tak selalu benar.
Postif atau Negatif, Semuanya Relatif
Sebagai bagian dari media massa (dikonsumsi banyak orang), mau tak mau film akan sangat berpengaruh bagi masyarakat. Pengaruh yang akan mencakup juga soal perilaku masing-masing individu. Elida menambahkan dalam soal ini, “secara simple, menonton film akan menambah kosakata kita dalam pergaulan”. Dalam kasus semisal film ‘Quicky Express’, ada kosakata yang kurang pantas semisal ‘*su tenan..!!’ yang dilontarkan Tora Sudiro. Kosakata yang ketika terucap mungkin bertujuan untuk mengocok perut, tapi jika diadopsi dalam pergaulan sehari-hari akan terasa kurang sopan.
Selain itu jika melihat bagaimana perilaku remaja massa kini. Terlihat bagaimana film mempengaruhi mereka. Semisal cara berpakaian dan sebagainya, sedikit banyak hal-hal seperti ini dibangun oleh siklus industrial. Trend yang tercipta, bakal lebih efektif jika kemudian disandingkan dengan soal-soal pencitraan. Pencitraan akan lebih maksimal jika menggunakan media-media popular, seperti film.
Trend dan film memang menjadi dua sisi yang tak bisa dipisahkan. Bukan hanya di negeri ini pro dan kontra soal trend atau moralitas dalam perfilman merebak. Hollywood juga mengalami kasus-kasus yang tak jauh berbeda. Semisal soal rokok, hal ini sempat jadi pro dan kontra di Hollywood. Jika dalam sebuah film ditampilkan adegan merokok hal tersebut bisa mendorong orang untuk melakukan hal yang sama. Kasus trend lainnya adalah episode agen 007 (James Bond), yang selalu kebanjiran sponsor produsen alat-alat elektronik. Sponsor elektronik beramai-ramai memfasilitasi petualangan Mr. Bond, dengan tujuan alat-alat elektronik yang sama dengan milik Mr. Bond laku di pasaran.
Jika rokok jadi masalah di Hollywood, bagaimana dengan soal Free-Sex, Masturbasi dll yang sering muncul dalam film sex komedi kita. Atau bagaimana dengan pakaian minim ala artis di film-film tersebut. Dengan hal-hal di atas, cukuplah alasan untuk ‘takut’ bagi sebagian masyarakat kita akan rusaknya moral generasi muda, akibat dari film-film dewasa ini (khususnya seks komedi).
Bagi sebagian orang lainnya, standarisasi moral dari masing-masing orang bisa berbeda. Hampir semua penonton film seks komedi yang kami wawancarai, menyatakan semua tergantung pribadi masing-masing. Ada beraneka ragam pesan dalam sebuah film, semuanya bakal kembali pada pribadi masing-masing untuk mengukur mana yang baik dan buruk.
Elok, salah seorang penonton film seks komedi yang kami temui di salah satu bioskop di Jogjakarta mengatakan “ Aku nontonya cuman untuk lucu-lucuan aja, gak sampai di praktekan lach !!!”. Hal yang sama juga diungkap oleh Yudha Heka Satria, “Film seks komedi, masih banyak yang sekedar memberikan hiburan tanpa pesan moral”. Walau demikian Yudha juga mengaku senang menonton beberapa judul film seks komedi, semisal‘Quicky Express’. “Ceritanya cerdas dan menarik” jelas Yuda, ketika ditanya tentang ketertarikanya pada ‘Quicky Express’.
Hal di atas seakan membenarkan tanggapan Edy Cahyono tentang dunia perfilman Indonesia. “Di Indonesia, pasarnya memang menginginkan jenis-jenis film seperti yang sekarang sedang ngetrend (termasuk seks komedi_red.)”. Walau demikian Edy mengaku, kalo dirinya belum tentu bakal menonton film yang sedang ngetrend. “Sayangnya tidak semua orang berpikir seperti aku” kata Edy lebih lanjut. Meski demikian dia juga menegaskan tak semua film komersial (yang lagi ngetrend) itu buruk. Beberapa diantaranya patut diapresiasi, karena pesannya bagus.
Kalau mau menilai secara objektif, memang tak semua dari film bergenre seks komedi menyampaikan pesan-pesan negatif. Contohnya dalam film XL (X-tra Large), di film itu kita bisa dapat sebuah pesan moral “Size doesn’t matter”. Alias ukuran kelamin (maaf) tidak jadi soal dalam urusan cinta. Atau mungkin kalau Tora Sudiro ditanya dia pasti mengatakan ‘Quickly Express’, juga membawa pesan bahwa pekerjaan Gigolo itu banyak resikonya.
Jika memang seperti ini sebenarnya kontrol terbesar ada di masing-masing individu, baik itu para pelaku industry perfilman maupun penonton. Para pelaku industri perfilman harus lebih kreatif lagi dalam menggali tema, cerita dan genre film. Karena akhir-akhir ini jelas sekali terlihat keseragaman genre di dunia perfilman kita (kalau pun ada yang berbeda bisa dihitung), utamanya juga buat genre seks komedi. Pelajaran dari sejarah perfilman Indonesia, keseragaman genre dan kepasrahan terhadap pasar hanya akan menghasilkan kebosanan dan keterpurukan. Jika hal ini tetap terjadi bukan tak mungkin dunia perfilman kita bakal kembali pada masa kegelapannya.
Orang-orang kreatif dibalik layar, pastilah memiliki banyak ide. Keberanian untuk memunculkan ide tersebut ke permukaan yang saat ini ditunggu. Para produser juga sebaiknya lebih terbuka terhadap ide-ide baru, jangan lagi menjadikan laba sebagai tujuan akhir. Budaya latah harus mulai ditinggalkan, karena budaya ini hanya akan membuat kita bisa dinilai sebagai bangsa yang miskin akan inovasi dan ide.
Budaya latah ini juga harus dihilangkan dari benak para penonton film. Jangan sampai penonton film turut melanggengkannya. Jika kita ingin film Indonesia bukan hanya sekedar bangkit, tapi berdiri dan terus berlari (baca : berkembang _red), maka kedewasaan kita dituntut di dalamnya. Kedewasaan yang harus ditunjukan dengan keterbukaan terhadap genre-genre film lainnya. Sebaik-baiknya film adalah film yang bisa merekam kehidupan masyarakat di sekitarnya dan membawa semangat serta pesan positif di dalamnya. Ada baiknya bagi kita untuk terbuka dan mensupport terus film-film seperti ini. Maju terus perfilman Indonesia…!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar